Apresiasi Puisi: Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, dan Ayat-ayat Api Karya Sapardi
apresiasiPuisi-puisi Sapardi dikenal sebagai puisi yang sangat sopan, sangat gramatikal, dan sangat lembut. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisi-puisi proses atau kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api (2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi Djoko Damono kebanyakan adalah puisi kamar yang harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-puisinya yang sangat populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat dikategorikan sebagai puisi auditorium.
Kepenyairan Sapardi Djoko Damono membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat Api yang antara lain memaparkan huru-hara kerusuhan di Solo dan Jakarta yang mengakibatkan banyak orang mati terbakar didalam toko.
Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya dalam dunia ilmu sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan fakultas Sastra UI, dan terakhir sebagai anngota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Direktur jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Kumpulan puisi-puisinya adalah DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994), dan Ayat-ayat Api (2000).
Puisinya yang berjudul Aku Ingin merupakan puisi yang sangat populer karena sering dikutip dalam sinetron dan dijadikan lirik lagu pop remaja. Sapardi sempat mengeluh karena pengutipan tersebut tanpa izin dan ada kesalahan dalam kosa katanya.
Aku Ingin
"Hujan Bulan Juni" adalah sajak terbaik Sapardi dalam kumpulan puisi yang berjudul sama. Hujan bulan Juni adalah lambang dari peristiwa yang datang pada waktu yang tidak tepat. Bulan Juni adalah musim kemarau saat semestinya hujan tidak datang. Peristiwa ini mungkin mengungkapkan kerinduan penyair terhadap seseorang (dirahasiakan rintik rindunya / kepada pohon berbunga itu) yang dibarengi dengan ketabahan, kebijakan, dan kearifan. Tabah karena mampu mampu merahasiakan rintik rindunya kepada pohon berbunga; bijak karena mampu menghapus jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu dijalanl arif karena mampu membiarkan hal-hal yang tidak terucapkan untuk diserap oleh akar pohon bunga.
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabahdari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Puisi "Ayat-ayat Api" berkisah tentang api yang melalap kota Solo (kota kelahiran penyair) dan kota Jakarta (tempat penyair bermukim) pada bulan Mei 1998 yang penuh malapetaka. Kata penghujan di dalam puisi ini berarti malapetaka. Sementara kemarau yang malamnyadingi, langitnya bersih seolah-olah hilang. Kemarau disini melambangkan kebahagiaan. Musim kemarau yang bahagia itu siangnya menawarkan bunga randu alas dan kembang calung yang dijemput angin (semua lambang menunjukkan kebahagiaan). Sementara itu masyarakat Jawa dan Indonesia biasanya adalah masyarakat penyabar seperti bukit-bukit yang tidak mudah tersinggung. Namun, ternyata di bulan Mei itu mereka ganas, liar merusak, merampas, memperkosa, membunuh, menjarah, dan membakar gedung-gedung sampai-sampai mereka ikut terbakar di dalamnya karena digerakkan oleh segolongan orang yang tidak bertanggung jawab.
Penyair juga tidak melihat lagi suasana orang-orang yang sabar menghadapi malapetaka dengan ikhlas meskipun mereka diusir kerumunan bunga dan kawanan burung. Pada bulan Mei 1998 itu penyair melihat manusia Indonesia yang berbeda. Karena itu ayat-ayatnya digambarkan seperti menjadi ayat-ayat api. Keganasan api itu seperti keganasan manusia yang mengamuk pada peristiwa Mei 1998. Penyair merindukan suasana sejuk dan aman seperti kemarau yang senantiasa dahaga / yang dirindukan penghujan.
Ayat-ayat Api
Mei, bulan kita itu belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin
yang langitnya bersih: yang siangnya menawarkan
bunga randu alas dan kembang calung, yang dijemput
angin
Di bukit-bukit yang tidak mudah tersinggung,
yang lebih suka menunggu sampai penghujan,
dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung),
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan
(Ayat-ayat Api, 2000)